Hitam-Putih Wajah Politik Indonesia
Sepanjang
tahun 2012 banyak catatan dalam lembaran politik Indonesia yang sayang untuk
kita lewatkan. Tapi hanya dua yang patut untuk jadi pembelajaran bagi para
elite politik dalam rangka menyongsong wajah politik Indonesia di 2013.
Terlebih tahun 2013 adalah tahun terakhir sebelum “perang bubat” 2014 dimulai.
Pertama: “hancur-leburnya” partai Demokrat.
Bisa
disebut tahun 2012 adalah tahun paling sial bagi partai Demokrat. Tak satu-pun
yang menduga -bahkan para elitenya- partai pemenang pemilu 2009 itu sedang
berada di ambang kehancuran. Banyak coretan tinta hitam di lembaran catatan
politik partai binaan Presiden tersebut, seiring dengan banyaknya para elite
Demokrat yang terjerat kasus dugaan korupsi.
Lembaran
kelam Demokrat sebenarnya telah dimulai sejak 2011. Bendahara Umum Demokrat,
Nazarudin, ditangkap di daerah Cartagena, Kolombia, pada Agustus 2011. Dampak
dari tertangkapnya Nazarudin ternyata berimbas hingga ke tahun 2012. Secara
berturut-turut para elite partai berlambang mercy itu dijadikan tersangka oleh
KPK.
Dua bulan
pasca mentari 2012 pertama kali terbit di ufuk timur, Angelina Sondakh,
dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap Wisma Atlet Jakabaring,
Palembang. Penetapan Angie sebagai tersangka mengawali sederetan nasib sial
para elite partai Demokrat di tahun 2012.
Medio
Agustus 2012, salah satu Dewan Pembina partai Demokrat, Hartati Murdaya, tak luput
dari bidikan radar KPK. Senin, 6 Agustus 2012, Hartati resmi ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK. Namun baru pada dua hari kemudian, tepatnya pada Rabu
8/12/2012, status tersangka Hartati diumumkan ke publik oleh KPK.
Kesialan
Demokrat tak berhenti di sana. Jelang akhir tahun 2012 giliran Andi
Mallarangeng yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus dugaan suap
di proyek olahraga nasional, Hambalang. Selang beberapa hari kemudian, Andi
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menpora sekaligus mundur dari
kepengurusan di Demokrat.
Survei-survei
yang menunjukkan kemunduran partai Demokrat di Pileg 2014 bak menambah kelamnya
wajah politik di Demokrat. Berbagai persoalan datang menghantam lambung kapal
partai penguasa tersebut. Tidak hanya kerepotan menghadapi kasus para elitenya,
Demokrat juga dihadapi oleh perpecahan internal. Walau untuk yang satu ini
telah berulangkali ditepis oleh para elitenya.
Namun,
pemecatan Ruhut Sitompul dari DPP partai Demokrat justru mengindikasikan hal
itu. “Anas mulai berani menentang SBY”! Setidaknya demikian persepsi publik
terhadap pemecatan Ruhut Sitompul. Indikasi penentangan Anas terhadap Ketua
Dewan Pembinanya sendiri makin menguat pasca Anas meneriakkan “Hidup Ical” saat
dimintai konformasi mengenai pemecatan Ruhut.
Hitamnya
lembaran politik Demokrat menambah jenggala di wajah politik Indonesia. Kasus
yang dihadapi oleh Demokrat tentunya harus dijadikan pelajaran ke depannya oleh
partai-partai politik agar lebih berhati-hati dalam memilih kadernya untuk duduk
di legislatif. Jika tidak, maka siap-siap saja kapal partai lain akan ikut
karam beserta karamnya partai Demokrat.
Kedua: menangnya Jokowi pada Pilkada Jakarta 2012.
Banyak
pelajaran yang bisa diambil oleh partai-partai politik dari kasus menangnya
Jokowi di Pilkada Jakarta 2012. “Digebuki” oleh koalisi partai “gemuk”, duet
Jokowi-Ahok justru keluar sebagai pemenang. Muncullah jargon “Koalisi rakyat vs
Koalisi parpol”.
Menangnya
Jokowi memberi pertanda bahwa deretan gerbong koalisi partai bukan menjadi jaminan
satu calon untuk keluar sebagai pemenang. Di balik itu ada elektabilitas,
penguasaan media, strategi dan lainnya yang lebih memegang peranan ketimbang
koalisi partai atau suara dari partai.
Dalam hal
ini partai Golkar-lah yang harus banyak mengambil pelajaran. Meski suara Golkar
cukup dominan, tetapi bukan menjadi jaminan seorang Aburizal Bakrie untuk
melenggang ke tahta kursi presiden 2014. Terlebih survei justru menunjukkan
bahwa elektabilitas Golkar tak dibarengi dengan elektabilitas capres dari partainya.
Golkar harus meninjau ulang penetapan Ical sebagai capres dari Golkar di 2014.
Kemenangan
Jokowi juga bisa diartikan sebagai kemenangan kaum muda atas kaum tua. Publik
merindukan wajah-wajah segar sebagai pemimpin Republik ini di masa mendatang. Sayangnya,
wajah-wajah capres di 2014 justru masih banyak diwarnai oleh kaum tua.
Di
sini-lah partai harus berani untuk memajukan capres dari kaum muda atau
setidaknya capres alternatif untuk mengimbangi wajah-wajah lama nan kusut para
capres di 2014. Nama-nama baru seperti Mahfud MD, Jokowi, Dahlan Iskan wajib
diwaspadai dan dipertimbangkan di 2013.
Setidaknya
kemenangan Jokowi membawa angin segar di tengah sumpeknya hawa politik di
Indonesia. Kemenangan Jokowi juga bak setitik putih di lautan warna hitam wajah
politik negeri kita. Bisa dikatakan, meski wajah politik Indonesia dipenuhi
oleh noda hitam jenggala para elite partai, tapi ada setitik warna putih yang
turut menyertainya.
Walhasil,
wajib kita tunggu bersama, apakah wajah politik Indonesia di sepanjang 2013
masih didominasi oleh warna hitam dengan setitik putih atau justru warna hitam
malah semakin merajai di wajah politik Indonesia?.
Sumber:
http://politik.kompasiana.com/2012/12/31/politik-2012-hitam-putih-wajah-politik-indonesia-521164.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar