Minggu, 12 Mei 2013

Hitam-Putih Wajah Politik Indonesia


Hitam-Putih Wajah Politik Indonesia

Sepanjang tahun 2012 banyak catatan dalam lembaran politik Indonesia yang sayang untuk kita lewatkan. Tapi hanya dua yang patut untuk jadi pembelajaran bagi para elite politik dalam rangka menyongsong wajah politik Indonesia di 2013. Terlebih tahun 2013 adalah tahun terakhir sebelum “perang bubat” 2014 dimulai.

 

Pertama: “hancur-leburnya” partai Demokrat.

Bisa disebut tahun 2012 adalah tahun paling sial bagi partai Demokrat. Tak satu-pun yang menduga -bahkan para elitenya- partai pemenang pemilu 2009 itu sedang berada di ambang kehancuran. Banyak coretan tinta hitam di lembaran catatan politik partai binaan Presiden tersebut, seiring dengan banyaknya para elite Demokrat yang terjerat kasus dugaan korupsi.

Lembaran kelam Demokrat sebenarnya telah dimulai sejak 2011. Bendahara Umum Demokrat, Nazarudin, ditangkap di daerah Cartagena, Kolombia, pada Agustus 2011. Dampak dari tertangkapnya Nazarudin ternyata berimbas hingga ke tahun 2012. Secara berturut-turut para elite partai berlambang mercy itu dijadikan tersangka oleh KPK.

Dua bulan pasca mentari 2012 pertama kali terbit di ufuk timur, Angelina Sondakh, dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap Wisma Atlet Jakabaring, Palembang. Penetapan Angie sebagai tersangka mengawali sederetan nasib sial para elite partai Demokrat di tahun 2012.

Medio Agustus 2012, salah satu Dewan Pembina partai Demokrat, Hartati Murdaya, tak luput dari bidikan radar KPK. Senin, 6 Agustus 2012, Hartati resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun baru pada dua hari kemudian, tepatnya pada Rabu 8/12/2012, status tersangka Hartati diumumkan ke publik oleh KPK.

Kesialan Demokrat tak berhenti di sana. Jelang akhir tahun 2012 giliran Andi Mallarangeng yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus dugaan suap di proyek olahraga nasional, Hambalang. Selang beberapa hari kemudian, Andi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menpora sekaligus mundur dari kepengurusan di Demokrat.

Survei-survei yang menunjukkan kemunduran partai Demokrat di Pileg 2014 bak menambah kelamnya wajah politik di Demokrat. Berbagai persoalan datang menghantam lambung kapal partai penguasa tersebut. Tidak hanya kerepotan menghadapi kasus para elitenya, Demokrat juga dihadapi oleh perpecahan internal. Walau untuk yang satu ini telah berulangkali ditepis oleh para elitenya.

Namun, pemecatan Ruhut Sitompul dari DPP partai Demokrat justru mengindikasikan hal itu. “Anas mulai berani menentang SBY”! Setidaknya demikian persepsi publik terhadap pemecatan Ruhut Sitompul. Indikasi penentangan Anas terhadap Ketua Dewan Pembinanya sendiri makin menguat pasca Anas meneriakkan “Hidup Ical” saat dimintai konformasi mengenai pemecatan Ruhut.

Hitamnya lembaran politik Demokrat menambah jenggala di wajah politik Indonesia. Kasus yang dihadapi oleh Demokrat tentunya harus dijadikan pelajaran ke depannya oleh partai-partai politik agar lebih berhati-hati dalam memilih kadernya untuk duduk di legislatif. Jika tidak, maka siap-siap saja kapal partai lain akan ikut karam beserta karamnya partai Demokrat.

 

Kedua: menangnya Jokowi pada Pilkada Jakarta 2012.

Banyak pelajaran yang bisa diambil oleh partai-partai politik dari kasus menangnya Jokowi di Pilkada Jakarta 2012. “Digebuki” oleh koalisi partai “gemuk”, duet Jokowi-Ahok justru keluar sebagai pemenang. Muncullah jargon “Koalisi rakyat vs Koalisi parpol”.

Menangnya Jokowi memberi pertanda bahwa deretan gerbong koalisi partai bukan menjadi jaminan satu calon untuk keluar sebagai pemenang. Di balik itu ada elektabilitas, penguasaan media, strategi dan lainnya yang lebih memegang peranan ketimbang koalisi partai atau suara dari partai.

Dalam hal ini partai Golkar-lah yang harus banyak mengambil pelajaran. Meski suara Golkar cukup dominan, tetapi bukan menjadi jaminan seorang Aburizal Bakrie untuk melenggang ke tahta kursi presiden 2014. Terlebih survei justru menunjukkan bahwa elektabilitas Golkar tak dibarengi dengan elektabilitas capres dari partainya. Golkar harus meninjau ulang penetapan Ical sebagai capres dari Golkar di 2014.

Kemenangan Jokowi juga bisa diartikan sebagai kemenangan kaum muda atas kaum tua. Publik merindukan wajah-wajah segar sebagai pemimpin Republik ini di masa mendatang. Sayangnya, wajah-wajah capres di 2014 justru masih banyak diwarnai oleh kaum tua.

Di sini-lah partai harus berani untuk memajukan capres dari kaum muda atau setidaknya capres alternatif untuk mengimbangi wajah-wajah lama nan kusut para capres di 2014. Nama-nama baru seperti Mahfud MD, Jokowi, Dahlan Iskan wajib diwaspadai dan dipertimbangkan di 2013.

Setidaknya kemenangan Jokowi membawa angin segar di tengah sumpeknya hawa politik di Indonesia. Kemenangan Jokowi juga bak setitik putih di lautan warna hitam wajah politik negeri kita. Bisa dikatakan, meski wajah politik Indonesia dipenuhi oleh noda hitam jenggala para elite partai, tapi ada setitik warna putih yang turut menyertainya.

Walhasil, wajib kita tunggu bersama, apakah wajah politik Indonesia di sepanjang 2013 masih didominasi oleh warna hitam dengan setitik putih atau justru warna hitam malah semakin merajai di wajah politik Indonesia?.

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2012/12/31/politik-2012-hitam-putih-wajah-politik-indonesia-521164.html

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar