Minggu, 12 Mei 2013

Demokrasi di Indonesia Hanya menjadi Hiruk Pikuk Politik Tidak Menyentuh Penyejahteraan Rakyat


Demokrasi di Indonesia Hanya menjadi Hiruk Pikuk Politik Tidak Menyentuh Penyejahteraan Rakyat

 

Pengertian Demokrasi


Istilah demokrasi berasal dari Yunani kuno pada abad ke-5 SM , terdiri dari demos yang berarti rakyat dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, pengertian demokrasi ikut berubah, dimana berkembang berbagai definisi moderen tentang demokrasi dalam system politik di berbagai negara, namun secara substansial makna demokrasi adalah sama. Makna subtansial demokrasi bersifat universal sehingga memiliki daya pikat normative yang tinggi untuk dijadikan sistim politik bagi negara-negara di dunia.Pada abad ini hampir seluruh sistim politik negara-negara di dunia terarah kepada demokrasi.
Sekalipun secara substansial makna demokrasi bersifat universal, tetapi pelaksanaan demokrasi bersifat particular, artinya demokrasi dilaksanakan dalam model yang berbeda-beda terkait dengan pilihan politik masyarakatnya yang disesuaikan dengan kultur, sejarah dan kepentingan mereka.
David Held dalam bukunya “ Model of Democracy” mengemukakan berbagai model demokrasi, diantaranya, model demokrasi klasik, protektif, partisipatif yang masing-masing prinsip penilaiannya berbeda-beda. Dalam model demokra klasik, warganegara seharusnya menikmati kesetaraan politik agar mereka bebas memerintah dan diperintah secara bergiliran. Dalam model demokrasi protektif, penduduk membutuhkan perlindungan dari para pemimpin dan dari sesamanya untuk memastikan bahwa mereka melaksanakan kebijakan-kebijakan sepadan secara keseluruhan. Dalam model demokrasi partisipatif, hak yang sama pada kebebasan dan pengembangan diri hanya dapat diperoleh dalam sebuah masyarakat partisipatif.
Masyarakat partisipatif didefinisikan oleh Held sebagai sebuah masyarakat yang membantu perkembangan sebuah keampuhan nilai politik, memelihara sebuah urusa terhadap masalah-masalah kolektif dan menyumbangkan pada warga negara yang berpengetahuan yang mampu menerima sebuah kepentingan tetap dalam proses memerintah.
Dalam pelaksanaan demokrasi setiap masyarakat atau bangsa boleh memilih model demokrasi yang tepat untuk mereka sesuai dengan keunikan yang mereka miliki, baik keunikan ekonomi,politik, social dan kebudayaannya.
Demokrasi di Indonesia
Ada tiga era pemerintahan di Indonesia, yaitu Orde lama, Orde Baru dan era Reformasi. Pada orde lama perjuangan bangsa terarah kepada membangun eksistensi bangsa, agar menjadi bangsa yang besar dan mandiri serta memiliki fondasi yang kukuh . Era Orde Baru merupakan era yang mengajarkan anak bangsa bagaimana pentingnya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan untuk mengatasi berbagai persoalan ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Orde Baru adalah fase pembangunan infrastruktur berbagai bidang pembangunan di seluruh pelosok Indonesia.
Pembangunan berbagai aspek kehidupan di era Orde Baru ternyata menuntut ongkos social politik yang mahal. Demokrasi tidak berkembang sebagaimana seharusnya. Partisipasi politik dicapai tidak melalui partisipasi dari rakyat secara otonom tapi melalui mobilisasi. Kehidupan parpol dan ormas bersifat monoton tidak kreatif . Stabilitas politik diwujudkan dengan melakukan berbagai praktik yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah demokrasi.
Ideologi pembangunan yang pernah ditumbuhkan Orba telah mengakibatkan Kerusakan budaya dan kini menjadi malapetaka bagi bangsa Indonesia. Orba telah mewariskan gaya hidup mewah pada para pejabat. Pada era Orba para pejabat dimanjakan. Pejabat diperbolehkan melakukan apapun asal loyal pada kekuasaan. Bahkan pejabat yang loyal pada penguasa dimanjakan dengan materi, sehingga mereka terbiasa dengan hidup mewah. Suap dan korupsi disebabkan oleh gaya hidup mewah para pejabat. Komplikasi krisis dan parahnya kerusakan budaya bangsa tidak dapat dibenahi dalam waktu singkat.
Kerusakan budaya seperti ini sungguh memprihatinkan. Hal ini tidak hanya menganggu integritas, efektifitas dan profesionalitas penyelenggara Negara tapi ikut mempengaruhi perilaku umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa gagalnya bangsa ini meningkatkan kesejahteraan nya disebabkan oleh praktek suap dan korupsi yang terjadi hampir di semua lini kekuasaan.
Setelah lebih dari satu dasa warsa reformasi berjalan ,harus diakui bahwa memang ada perubahan dan kemajuan yang berhasil dicapai, seperti kebebasan dapat dinikmati oleh banyak orang, kompetisi dibiarkan berkembang , partisipasi masyarakat meluas bahkan terjadi ledakan partisipasi rakyat yang ditandai dengan munculnya partai politik bagai jamur di musim hujan.
Namun tidak dapat dibantah bahwa setelah lebih dari satu dasa warsa reformasi berlangsung, usaha demokratisasi belum berhasil membangun demokrasi yang kuat dan mensejahterakan. Demokrasi baru berjalan pada tahap procedural, belum ada penguatan yang berarti ditingkat substansial. Dan satu hal yang penting digarisbawahi adalah demokrasi belum dikelola oleh kepemimpinan yang kuat dan berkemampuan secara tegas membawa perubahan kearah yang jelas.
Hal-hal yang telah dicapai dalam era reformasi antara lain :
1. Perluasan kebebasan
2. Perluasan partisipasi politik
3. Praktek kompetisi
4. Reformasi konsttusional
5. Penguatan Institusi penguasaan kekuasaan
6. Kebebasan Pers
7. Penguatan supremasi sipil
8. Penguatan masyarakat

Hal-hal yang belum berhasil dicapai antara lain :
1. Akuntabilitas
2. Penyejahteraan dan keadilan
3. Penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan
4. Penegakan hukum
Demokrasi adalah tantangan yang sangat berat karena harus menyandingkan berbagai paradoksal seperti kebebasan dengan ketertataan, hak dan kewajiban, kompetisi dan persamaan, dinamika dan stabilitas, serta kemajemukan dengan persatuan.
Kedepan, kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas kerja demokrasi, dengan menetapkan pendekatan kebijakan dan pembangunan yang tepat. S e m o g a!

 

 

Sumber :  http://politik.kompasiana.com/2010/08/17/demokrasi-di-indonesia-hanya-menjadi-hiruk-pikuk-politik-tidak-menyentuh-penyejahteraan-rakyat-228978.html

Dunia politik tak ubahnya dengan dunia binatang buas


Dunia Politik Tak Ubahnya dengan Dunia Binatang Buas

ilustrasi gambar: www.psmag.com

 

Pada dasarnya politik memiliki makna dan tujuan yang sangat positif, yakni sebagai alat perjuangan untuk mendapat kedudukan dan kekuasaan, dalam membangun masyarakat, agar setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Artinya, politik tidak membeda-bedakan golongan (untuk semua

golongan). Namun sangat disayangkan, bahwa realita memperlihatkan justru sebaliknya, yaitu istilah politik sering disalahgunakan oleh golongan atau pribadi terentu sebagai alat untuk menakut-nakuti sebagian warga masyarakat, sehingga mereka kehilangan hati nurani yang jernih. Akibatnya, setiap orang yang bersangkutan tidak lagi dapat mengambil keputusan sendiri untuk memilih sesuai hati nurani karena adanya tekanan, ketakutan dan bahkan paksaan dari oknum atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani. Bahkan yang lebih parah lagi, suara hati nurani terpaksa dihianati karena sejumlah uang dan janji-janji palsu dari para politikus.

Maraknya praktik korupsi, ketidakadilan, kekerasan, penindasanm, diskriminasi, terhadap kelompok yang lemah dan minoritas membuktikan bahwa dunia politik tak ubahnya dengan dunia binatang buas. Dalam konteks itulah Iwan Fals dengan lantang mengatakan dalam sebuah syair lagunya yang berjudul “Asik Ngga Asik”, bahwa dunia politik adalah dunia binatang, dunia hura-hura para binatang dan dunia pesta-pora para binatang. Tiga kali kata “binatang” diulang menunjukan betapa dunia politik di Indonesia sudah sangat memuakan.

Dunia politik seakan tidak ada bedanya dengan panggung sandiwara yang hanya memuaskan sesaat, setelah itu pulang toh ceritanya sudah berakhir. Para pemimpin politik sebagai dalang yang bersembunyi di balik layar dan rakyat sering dijadikan sebagai penonton yang seolah-olah tidak tahu apa-apa atau buta terhadap dunia politik. Itulah sebabnya politik sering disalahgunakan, didramatisir, diperkosa, dimanfaatkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu atau individu tertentu dan kepentingan pribadi, yang tidak mendatangkan kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran politik hanya dinikmati oleh para penguasa dan mereka yang dekat dengan kekuasaan.

Kisah kisruh politik yang tidak sehat, yang tak ada bedanya dengan dunia binatang buas telah menyebabkan otonomi daerah tidak berjalan sesuai dengan harapan. Oleh sebab itu, otonomi daerah dinilai belum efektif untuk pembangunan di Indonesia, terutama untuk daerah-daerah tertinggal. Salah contoh yang sangat nyata adalah di daerah saya di Kalimantan Barat, khususnya di Kecamatan Sajingan Besar Kabupaten Sambas, tenaga listrik dan jalan raya yang beraspal adalah pemberian dari pemerintah Malaysia. Seharusnya pemerintah Indonesia punya nyali dan malu dengan pemerintah Malaysia. Sejenak saya berpikir, mengapa orang lain lebih prihatin, peduli dan empati dari pada orangtua sendiri? Jika hal ini tetap dibiarkan, maka bukan tidak mungkin masyarakat setempat pindah negara, yaitu menjadi warga negara Malaysia.

Maraknya praktik korupsi di Indonesia telah meruntuhkan nilai-nilai kemausiaan masyarakat Indonesia itu sendiri. Betapa tidak? Seharusnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan sebesar adalah 60%, tetapi nyatanya hanya 40% yang dialokasoikan, sehingga ini menimbulkan kesenjangan di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa. Itulah sebabnya daerah yang tertinggal semakin tertinggal dan tidak bisa menyerapnya. Daerah tertinggal kerap diabaikan dan tidak dijadikannya sebagai fokus pembangunan, sehingga banyak sektor yang tidak memperhatikan daerah tertinggal, karena kesalahan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Masalah lain adalah lahirnya raja-raja kecil yang sangat kuat di provisni-provinsi, di kabupaten-kabupaten, di kota-kota, dan di kecamatan-kecamatan. Akibatnya KKN semakin bertumbuh dan berkembang luar biasa, sehingga rakyat semakin menderita. Tidak hanya itu, munculnya PERDA-PERDA yang bertentangan dengan peraturan pusat, seperti PERDA syariat Islam di berbagai daerah, dan ini pun menyebabkan perpecahan bangsa karena ada yang setuju dan yang tidak setuju.

Yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik (elite politik) menganggap bahwa PERDA tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemiskinan, perjudian yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil dengan alasan untuk memperbaiki moral bangsa. Sedangkan yang tidak setuju beranggapan bahwa PERDA tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya.

Dengan kata lain, kehadiran PERDA syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa yang ada, yaitu seperti: kemiskinan, kekerasan, kerusakan lingkungan, penjahat HAM, ketidakadilan sosial, dan praktik korupsi yang semakin merajalela. Salah satu akibatnya adalah agama sering dijadikan mesin politik oleh pihak-pihak tertentu untuk mendongkrak popularitas dan jabatannya serta mereka yang memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung syariat Islam.

Seharusnya Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang menerapkan syariat Islam secara ortodoks seperti Afganistan, Somalia dan Sudan, yang sekaligus juga bisa menjadi bukti bahwa syariat Islam tidak diperlukan di Indonesia. Karena justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu rendahnya tingkat ekonomi, kesejahteraan dan prestasi iptek rakyat Indonesia. Dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, Prancis dan Libia yang menjalankan sistem sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang.

Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju dari Indonesia. Ini adalah bukti bahwa syariat Islam tidak mempu menjawab realitas, seperti menghukum mati para koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM. Bahkan tidak jarang dan harus diakui secara jujur bahwa kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi karena dipicu oleh sentimen agama yang erat kaitannya dengan PERDA. Peraturan Pusat dan PERDA harusnya didasarkan pada Pancasila dan bukan agama. Karena Pancasila telah menjadi ideologi dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang universal. Pancasila telah menjamin terjadinya pluralisme di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika, dan tidak ada falsafah yang lebih baik dari Pancasila.

Hakikatnya pluralisme dan modernisme adalah sebuh realita yang harus diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak ada lagi “ini wilayah Kristen dan ini wilayah Islam”. Karena prinsip pluralisme jelas mengandaikan adanya kesetaraan antar pemeluk agama di hadapan Tuhan Sang Pencipta, dan bukan sebaliknya seperti para demonstrasi yang sering melakukan tindakan-tindakan anarkis, perusakan dan kekerasan atas nama agama. Sungguh menyedihkan bila melihat negara Indonesia dijadikan sebagai tempat persembunyian dan berkumpulnya para perampok, penipu, para penjilat, dan para binatang. Tetapi inilah realita yang ada di negara Indonesia. Seharusnya ini menjadi pelajaran untuk mengubah cara berpolitik di Indonesia dengan cara-cara yang manusiawi dan bukan cara kebinatangan seperti yang sering diperlihatkan di berbagai media maupun yang ada di lapangan langsung.

Republik Indonesia adalah negara yang terkenal sebagai negara beragama tetapi praktik korupsi jalan terus. Kekerasan atas nama agama seolah-olah menjadi pilihan yang membanggakan dan melaksanakan kehendak ilahi. Dengan bengis mereka bertindak dan membiarkan kejahatan itu terjadi. Mereka menutup kedua telinga atas teriakan orang-orang yang lapar dan minta tolong, dan menutup kedua mata atas orang-orang yang menderita, sering diperlakukan tidak adil, ditindas dan didiskriminasi oleh kelompok tertentu demi kepentingan politik binatang dan tidak berkeprikemanusiaan. Sungguh, tidak ada yang dapat dibanggakan dari kisah kisruh dunia politik yang ada di negara Indonesia. Tetapi semoga di kemudian hari mereka menyadari dan berperan sebagai mana mestinya seorang pemimpin yang manusiawi. Itulah harapan banyak orang, terutama mereka yang lemah, bahkan tidak jarang mereka memanjatkan doa-doa mereka kepada Sang Khalik supaya para pemimpin tidak memerintah dengan cara-cara binatang buas.

Hitam-Putih Wajah Politik Indonesia


Hitam-Putih Wajah Politik Indonesia

Sepanjang tahun 2012 banyak catatan dalam lembaran politik Indonesia yang sayang untuk kita lewatkan. Tapi hanya dua yang patut untuk jadi pembelajaran bagi para elite politik dalam rangka menyongsong wajah politik Indonesia di 2013. Terlebih tahun 2013 adalah tahun terakhir sebelum “perang bubat” 2014 dimulai.

 

Pertama: “hancur-leburnya” partai Demokrat.

Bisa disebut tahun 2012 adalah tahun paling sial bagi partai Demokrat. Tak satu-pun yang menduga -bahkan para elitenya- partai pemenang pemilu 2009 itu sedang berada di ambang kehancuran. Banyak coretan tinta hitam di lembaran catatan politik partai binaan Presiden tersebut, seiring dengan banyaknya para elite Demokrat yang terjerat kasus dugaan korupsi.

Lembaran kelam Demokrat sebenarnya telah dimulai sejak 2011. Bendahara Umum Demokrat, Nazarudin, ditangkap di daerah Cartagena, Kolombia, pada Agustus 2011. Dampak dari tertangkapnya Nazarudin ternyata berimbas hingga ke tahun 2012. Secara berturut-turut para elite partai berlambang mercy itu dijadikan tersangka oleh KPK.

Dua bulan pasca mentari 2012 pertama kali terbit di ufuk timur, Angelina Sondakh, dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap Wisma Atlet Jakabaring, Palembang. Penetapan Angie sebagai tersangka mengawali sederetan nasib sial para elite partai Demokrat di tahun 2012.

Medio Agustus 2012, salah satu Dewan Pembina partai Demokrat, Hartati Murdaya, tak luput dari bidikan radar KPK. Senin, 6 Agustus 2012, Hartati resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Namun baru pada dua hari kemudian, tepatnya pada Rabu 8/12/2012, status tersangka Hartati diumumkan ke publik oleh KPK.

Kesialan Demokrat tak berhenti di sana. Jelang akhir tahun 2012 giliran Andi Mallarangeng yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas kasus dugaan suap di proyek olahraga nasional, Hambalang. Selang beberapa hari kemudian, Andi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menpora sekaligus mundur dari kepengurusan di Demokrat.

Survei-survei yang menunjukkan kemunduran partai Demokrat di Pileg 2014 bak menambah kelamnya wajah politik di Demokrat. Berbagai persoalan datang menghantam lambung kapal partai penguasa tersebut. Tidak hanya kerepotan menghadapi kasus para elitenya, Demokrat juga dihadapi oleh perpecahan internal. Walau untuk yang satu ini telah berulangkali ditepis oleh para elitenya.

Namun, pemecatan Ruhut Sitompul dari DPP partai Demokrat justru mengindikasikan hal itu. “Anas mulai berani menentang SBY”! Setidaknya demikian persepsi publik terhadap pemecatan Ruhut Sitompul. Indikasi penentangan Anas terhadap Ketua Dewan Pembinanya sendiri makin menguat pasca Anas meneriakkan “Hidup Ical” saat dimintai konformasi mengenai pemecatan Ruhut.

Hitamnya lembaran politik Demokrat menambah jenggala di wajah politik Indonesia. Kasus yang dihadapi oleh Demokrat tentunya harus dijadikan pelajaran ke depannya oleh partai-partai politik agar lebih berhati-hati dalam memilih kadernya untuk duduk di legislatif. Jika tidak, maka siap-siap saja kapal partai lain akan ikut karam beserta karamnya partai Demokrat.

 

Kedua: menangnya Jokowi pada Pilkada Jakarta 2012.

Banyak pelajaran yang bisa diambil oleh partai-partai politik dari kasus menangnya Jokowi di Pilkada Jakarta 2012. “Digebuki” oleh koalisi partai “gemuk”, duet Jokowi-Ahok justru keluar sebagai pemenang. Muncullah jargon “Koalisi rakyat vs Koalisi parpol”.

Menangnya Jokowi memberi pertanda bahwa deretan gerbong koalisi partai bukan menjadi jaminan satu calon untuk keluar sebagai pemenang. Di balik itu ada elektabilitas, penguasaan media, strategi dan lainnya yang lebih memegang peranan ketimbang koalisi partai atau suara dari partai.

Dalam hal ini partai Golkar-lah yang harus banyak mengambil pelajaran. Meski suara Golkar cukup dominan, tetapi bukan menjadi jaminan seorang Aburizal Bakrie untuk melenggang ke tahta kursi presiden 2014. Terlebih survei justru menunjukkan bahwa elektabilitas Golkar tak dibarengi dengan elektabilitas capres dari partainya. Golkar harus meninjau ulang penetapan Ical sebagai capres dari Golkar di 2014.

Kemenangan Jokowi juga bisa diartikan sebagai kemenangan kaum muda atas kaum tua. Publik merindukan wajah-wajah segar sebagai pemimpin Republik ini di masa mendatang. Sayangnya, wajah-wajah capres di 2014 justru masih banyak diwarnai oleh kaum tua.

Di sini-lah partai harus berani untuk memajukan capres dari kaum muda atau setidaknya capres alternatif untuk mengimbangi wajah-wajah lama nan kusut para capres di 2014. Nama-nama baru seperti Mahfud MD, Jokowi, Dahlan Iskan wajib diwaspadai dan dipertimbangkan di 2013.

Setidaknya kemenangan Jokowi membawa angin segar di tengah sumpeknya hawa politik di Indonesia. Kemenangan Jokowi juga bak setitik putih di lautan warna hitam wajah politik negeri kita. Bisa dikatakan, meski wajah politik Indonesia dipenuhi oleh noda hitam jenggala para elite partai, tapi ada setitik warna putih yang turut menyertainya.

Walhasil, wajib kita tunggu bersama, apakah wajah politik Indonesia di sepanjang 2013 masih didominasi oleh warna hitam dengan setitik putih atau justru warna hitam malah semakin merajai di wajah politik Indonesia?.

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2012/12/31/politik-2012-hitam-putih-wajah-politik-indonesia-521164.html

 

Evolusi dan revolusi sebagai jalan perubahan sosial


Evolusi dan revolusi sebagai jalan perubahan sosial


 

perubahan sosial dapat terjadi dalam dua jalan dan kondisi, yakni revolusi dan evolusi. Proses evolusi adalah proses perubahan yang lama, secara perlahan dan berkaitan dengan kesadaran baru mengenai pertahanan hidup. Evolusi biasanya terjadi pada masyarakat tradisional yang digambarkan sebagai hal yang lampau, dari masa lalu. Hal ini dikarenakan terjadinya persekutuan antara pikiran manusia, kosmik dan alam yang lebih terjaga, adanya keteraturan dan pandangan hidup yang berdasarkan mitos, dimana mitos tersebut disampaikan secara turun temurun, rural dan mistis.Dalam masyaakat tradisional, terjadi tradisionalitas dalam perubahan sosial yang sebenarnya sangat individual.

Segala aturan berupa custom, mores, folkway dan usage didasarkan pada pengalaman responsif berhadapan dengan sesama manusia atau alam sekitar. Etika memegang peranan penting dalam masyarakat ini dan dihujamkan ke individu melebihi pemahaman terhadap hukum positif manapun. Secara perlahan, masyarakat berubah melewati kebiasaan dan pembiasaan baru dari luar atau impostor. Maka secara perlahan, dalam hitungan tahun kemudian masyarakat mengalami perubahan yang besar, menjadi lebih individualistis. Salah satunya karena kehadiran teknologi televisi. Secara perlahan, mereka mengalami modernisasi yang diakibatkan oleh injeksi kemodernan yang mereka dapatkan secara tidak langsung. Alat-alat modern akan terus datang dan mereka akan terbiasa dengan hal itu. Lalu secara tidak disadari, perubahan sosial telah terjadi.

Selain perubahan yang terjadi secara perlahan atau evolusi, ada juga jalan perubahan sosial yang lain, yakni revolusi. Perubahan sosial secara revousi adalah perubahan yang cepat dan drastis yang bisa dirasakan oleh siapapun yang terlibat maupun tidak. Perubahan sosial secara revolusi ini pada awalnya terjadi karena kedudukan modernitas yang merupakan montase dari nilai murni yang dianut dalam suatu komunitas manusia dengan nilai acuan dan ajuan yang dapat mereka rumuskan setiap tahun dalam bentuk birokratisasi. Nilai-nilai murni ini kemudian dilegalkan dalam teori mengenai kependudukan dengan penganjuran urbanisasi dan penyisihan (atau lebih tepatnya isolasi) pada kaum raral dari budaya perkotaan. Adanya perubahan budaya politik yang kolot menjadi demokratisasi melalui birokratisasi tingkat desa menjadi agen dari perubahan sosial tersebut.

Maka dari itu ada semacam pemaksaan kondisi, dimana tidak ada pilihan bagi sekelompok orang yang tergabung dalam suatu masyarakat kecuali untuk berubah. Yang dilakukan birokrat dalam melakukan revolusi sosial ini dinamakan stimulus sosial, dimana ada semacam iming-iming dalam kondisi yang dimitoskan “tidak nyaman” menjadi suatu kondisi “nyaman” demi percepatan kemajuan suatu negara. Selain itu revolusi juga dapat terjadi sebaliknya, yakni saat masyarakat sudah jenuh dengan kenyamanan palsu, dimana jurang antara satu kelompok dengan kelompok lainnya menjadi semakin melebar, maka mereka akan menuntut suatu perubahan yang segera. Perubahan ini sering memaksa birokrat untuk keluar dari zona nyaman. Jika stimulus sosial memaksa masyarakat untuk melakukan revolusi, maka protes sosial dapat memaksa birokrasi menyesuaikan dengan keinginan masyarakat.

 

Sumber: http://ridwanaz.com/umum/kewarganegaraan/evolusi-dan-revolusi-sebagai-jalan-perubahan-sosial/

Implementasi Pancasila sebagai Dasar Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia


 

Negara Indonesia merupakan negara yang lahir dari tetesan darah para pejuang kemerdekaan Indonesia. Proklamasi Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 memiliki arti yang penting dan sakral bagi bangsa Indonesia yaitu sebagai tonggak lahirnya bangsa Indonesia, sebagai tanda lahirnya tata hukum Indonesia yang baru serta sebagai norma tata hukum pertama di Indonesia. Suatu negara akan berdiri kukuh jika negara tersebut mempunyai dasar negara untuk mengatur setiap warga negara dan aparatur negara dalam bertindak. Dasar yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu negara harus sesuai dengan kepribadian bangsa dan pandangan hidupnya.
Negara Indonesia memiliki Ideologi Pancasila yang dijadikan asas serta memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup di negara Republik Indonesia. Para pendiri negara Indonesia telah meletakkan dasar-dasar bagi negara yang dibentuk. Para pendiri bangsa melaksanakan tugas yang amat berat untuk merumuskan secara arif suatu intisari yang paling hakiki dari keseluruhan pemikiran pendiri negara untuk suatu bangsa. Pandangan hidup bangsa Indonesia tersebut terangkum dalam perumusan sila-sila Pancasila yang kemudian dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah bernegara, merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan hukum Indonesia. Oleh karena itu, hukum Indonesia haruslah berkiblat pada nilai-nilai yang tertuang dalam rumusan Pancasila.
Pancasila yang dijadikan asas serta memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup bernegara berdasarkan prinsip “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka”. Prinsip ini bermakna bahwa bangsa Indonesia diharuskan mempertajam kesadaran akan nilai-nilai dasarnya yang bersifat abadi, di lain pihak didorong untuk mengembangkan secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan zaman. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwasannya “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka” bahwasannya nilai dasar dari Pancasila tersebut tetap namun penjabarannya dapat dikembangkan secara kreatif dan dinamis sesuai dengan kebutuhan dinamika perkembangan masyarakat Indonesia sendiri. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia memiliki lima nilai dasar yang tersusun secara sistematis dalam satu kesatuan yang saling mengilhami antar sila-nya. Setiap sila memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki makna bahwasannya bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga rakyat Indonesia diharuskan memiliki agama dan kepercayaan masing-masing. Sila kemanusiaan yanga adil dan beradab memiliki makna bahwasannya manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki harkat dan martabat yang wajib dihormati oleh sesama manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, kepercayaan dan sebagainya. Oleh karena itu sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa, saling menghargai harus dikembangkan diantara manusia. Pada intinya sila kedua ini bermakna menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Sila Persatuan Indonesia menempatkan bahwa manusia Indonesia merupakan satu kesatuan. Kepentingan negara dan bangsa Indonesia berada di atas kepentingan pribadi dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan bermakna bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama oleh karena itu tidak boleh ada pemaksaan kehendak kepada orang lain. Dalam hal menggunakan haknya, maka harus memperhatikan kepentingan Negara dan kepentingan masyarakat. Musyawarah mufakat merupakan elemen penting dalam rangka pengambilan keputusan. Keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha esa. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia bermakna bahwa rakyat Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu dikembangkan sikap adil terhadap sesama menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak orang lain.
Sebagai falsafah bangsa yang dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya harus kita taati dan kita amalkan dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi dewasa ini banyak penyimpangan yang dilakukan oleh warga negara terhadap nilai-nilai pancasila. Segala perpecahan dan konflik konflik yang terjadi sungguh tidak mencerminkan jati diri bangsa. Penyimpangan terhadap nilai-nilai pancasila dapat kita contohkan dengan beberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Penyimpangan sila pertama, misalnya konflik antar agama yang terjadi di Ambon. Dalam konflik ini, antara agama Katolik dan agama Islam saling menyerang tanpa adanya toleransi sedikitpun. Sila kedua pancasila pada kenyataannya juga telah dilanggar. Kasus Tri Sakti tanggal 12 Mei 1998 merupakan bukti bahwa sila kedua pancasila belum sepenuhnya dipahami dan diamalkan oleh warga Indonesia. Hal lain yang menjadi perhatian kita adalah pnyimpangan sila ketiga tentang persatuan antar warga Negara. Persatuan antar warga negara Indonesia sudah mulai merenggang, hal ini dapat kita lihat dengan munculnya tragedi monas yaitu pertikaian antara FPI dengan AKKBB yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai persatuan. Penerapan sila keempat juga tidak dapat sepenuhnya dijalankan misalnya saja dengan perilaku yang ditunjukan oleh para wakil rakyat, yang seharusnya mereka mewakili rakyat dalam menetukan dan mengambil kebijakan, mereka dengan terang-terangan mengabaikan kewajiban mereka contohnya dalam menyelesaikan masalah para wakil rakyat menggunakan kekerasan, seperti tidak mencerminkan bahwa mereka tidak beretika dan tidak berwibawa. Selain itu masalah sila kelima tentang keadilan sosial yang masih berkembang ditengah-tengah masyarakat Indonesia menjadi salah satu indikator bahwa keadilan sosial belum tercapai. Kesenjangan yang tercipta antara kaum elite dengan kaum miskin masih terjadi, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Selain itu penyimpangan sila kelima juga dapat ditengarai dengan munculnya ketimpangan pendidikan, kesehatan dan juga kemiskinan. Setelah melihat contoh diatas jelas bahwa nilai-nilai pancasila belum sepenuhnya diimplementasikan di dalam kehidupan bernegara.
Dalam pengimplementasian sila-sila pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya ada kendala yang dihadapi oleh berbagai elemen masyarakat. Kendala dari sila pertama dapat berupa pertentangan antar agama yang dilatar belakangi tidak adanya toleransi antar umat beragama, yang pada dasarnya kendala tersebut ada karena individu atau kelompok dalam masyarakat itu sendiri saling mengeksklusifkan kelompok masing-masing. Selain itu banyaknya aliran agama yang bermunculan, yang mana mereka membawa ideologi masing-masing yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang diakui di Indonesia. Kendala dari sila kedua sendiri yaitu masih banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena hukum yang berlaku masih belum merepresentasikan sebagaimana fungsinya. Pengimplementasian sila ketiga masih belum dilaksanakan sepenuhnya, hal ini dikarenakan masih banyaknya daerah di Indonesia yang mau mimisahkan diri dari kesatuan Republik Indonesia. Hal ini bisa dicontohkan dengan munculnya berbagai gerakan di Indonsia seperti gerakan OPM di Papua serta GAM di Aceh. Hal tersebut terjadi karena dari pemerintah sendiri belum bisa mengayomi daerah tersebut seperti daerah lain di Indonesia misalnya Jakarta. Kendala dari sila keempat sendiri nampak jelas dari wakil rakyat yang tidak amanah dalam menjalankan tugasnya. Selain itu masih banyaknya sistem pengambilan keputusan dengan cara voting dan sebagainya. Kendala dari sila kelima sendiri yakni sistem distribusi pendapatan yang tidak merata baik dalam bidang pendidikan, kesehatam maupun bidang kesejahteraan lainnya.
Masalah-masalah tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan kembali kepada kelima sila Pancasila. Dengan menghidupkan kembali Pancasila sebagai dasar utama dan jati diri bangsa, yaitu dengan cara mengembangkan pemahaman Pancasila yang transformatif, edukatif, dan berwawasan melalui pendidikan dan pembudayaan. Sebab, tanpa memasyarakatkan Pancasila bangsa Indonesia sudah dipastikan akan runtuh dan segala problematika tidak akan kunjung selesai.
Internalisasi Keyakinan atau Pembudayaan terhadap Pancasila. Proses pemahaman Pancasila, perlu dilakukan sedemikian rupa, sampai pada tingkat dimana bukan hanyasekedar paham, namun juga tumbuhnya keyakinan pada warga negara bahwa Pancasila adalah falsafah dan nilai-dasar bangsa yang sesuai untuk bangsa Indonesia, mampu acuan arah dan pendorong pembagunan Nasional dan mampu menjadi penguat persatuan kebangsaan.
Kualitas internalisasi pada individu, diharapkan dimulai dari penerimaan atas ideologi Pancasila, kemampuan pengendalian diri, sampai pada kondisi, dimana tumbuhnya motivasi kuat untuk mengamalkannya. Tingkat keyakinan tersebut juga diharapkan dapat membangun kekuatan internal individu, sehingga individu yang bersangkutan mampu melakukan seleksi dengan benar atas pengaruh dari luar, mengambil pengaruh positif dan menolak pengaruh negatif.
Merumuskan Kebijaksanaan Pemerintah tentang implementasi Pancasila, dapat dilakukan dengan meningkatkan wawasan kebangsaan untuk mengatasi permasalahan bangsa. Yaitu dengan menggerakan lembaga, instansi dan ORMAS/ORPOL dalam upaya memasyarakatkan dan menanamkan ideologi Pancasila di masyarakat. Sehingga dalam merumuskan implementasi pancasila diperlukan kebijakan dari instansi yang berwenang, agar dapat mendorong upaya sosialisasi Pancasila di bidang pendidikan dan gerakan untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.
Meningkatkan keteladanan pemimpin dalam implementasi Pancasila, terutama para pemimpin yang sekaligus sebagai penyelenggara negara, akan berdampak positif pada upaya untuk mengurangi KKN. Hanya pemimpin yang bermoral dan etika yang tinggi, yang mampu tampil sebagai teladan. Oleh karenaya, perlu upaya penanaman dan pengembangan etika dan moral bagi pelajar, pemuda dan mahasiswa sebagai kader kepemimpinan nasional dimasa depan. Disisi lain, keteladanan hanya dapat berkembang dengan baik, bila para elit bangsa, memmpunyai kemauan yang keras dan tinggi untuk mengembangkan etika dan moralnnya. Etika dan moral yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia adalah implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hal ini dapat dilakukan dengan menanamkan dan megnimplementasikan sila-sila pancasila.
Meningkatkan pemahaman masyarakat pada Pancasila untuk untuk memecahkan permasalahan bangsa, sekaligus mendukung kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peningkatan pemahaman semua Komponen Masyarakat terhadap ideologi Pancasila. Pemahaman merupakan suatu kondisi awal yang sangat penting agar tiap warga negara mampu mengamalkan Pancasila dengan benar. Tanpa pemahaman yang benar, maka proses berpikir, ucapan dan tindakan tiap warga yang berkaitan dengan kepentingan pembangunan dapat menjadi salah arah, bahkan dapat mengganggu pembangunan Nasional yang pada akhirnya akan memperlemah persatruan dan kesatuan bangsa. Kualitas pemahaman individu para penyelenggara negara terhadap pancasila diharapkan akan semakin tinggi, dengan meningkatnya tugas dan tanggung jawab yang bersangkutan dalam kegiatan kenegaraan. Pemahaman tersebut diharapkan dapat terus meningkat dan dapat dijaga kondisi pemahamannya.
Dengan dipaparkannya berbagai masalah yang terkait dengan pengimplementasian pancasila serta solusi untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, tentunya membuat kita semua semakin sadar bahwasannya Pancasila memiliki posisi sentral dalam kehiduan berbangsa dan bernegara.

 

Sumber : http://hankam.kompasiana.com/2013/04/15/pancasila-landasan-pembangunan-nasional-546291.html