Dunia Politik Tak Ubahnya dengan Dunia Binatang Buas
ilustrasi gambar: www.psmag.com
Pada
dasarnya politik
memiliki makna dan tujuan yang sangat positif, yakni sebagai alat perjuangan
untuk mendapat kedudukan dan kekuasaan, dalam membangun masyarakat, agar setiap
anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati keadilan,
kemakmuran dan kesejahteraan. Artinya, politik tidak membeda-bedakan golongan
(untuk semua
golongan). Namun sangat disayangkan, bahwa realita
memperlihatkan justru sebaliknya, yaitu istilah politik sering disalahgunakan
oleh golongan atau pribadi terentu sebagai alat untuk menakut-nakuti sebagian
warga masyarakat, sehingga mereka kehilangan hati nurani yang jernih. Akibatnya, setiap orang yang bersangkutan tidak
lagi dapat mengambil keputusan sendiri untuk memilih
sesuai hati nurani karena adanya tekanan, ketakutan dan bahkan paksaan dari oknum atau
kelompok tertentu untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hati
nurani. Bahkan yang lebih parah lagi, suara
hati nurani terpaksa dihianati karena sejumlah uang dan janji-janji palsu dari
para politikus.
Maraknya
praktik korupsi, ketidakadilan, kekerasan, penindasanm, diskriminasi, terhadap
kelompok yang lemah dan minoritas membuktikan bahwa dunia politik tak ubahnya
dengan dunia binatang buas. Dalam konteks itulah Iwan Fals dengan lantang
mengatakan dalam sebuah syair lagunya yang berjudul “Asik Ngga Asik”, bahwa
dunia politik adalah dunia binatang, dunia hura-hura para binatang dan dunia
pesta-pora para binatang. Tiga kali kata “binatang” diulang menunjukan betapa
dunia politik di Indonesia sudah sangat memuakan.
Dunia politik
seakan tidak ada bedanya dengan panggung sandiwara yang hanya memuaskan sesaat,
setelah itu pulang toh ceritanya sudah berakhir. Para pemimpin politik sebagai
dalang yang bersembunyi di balik layar dan rakyat sering dijadikan sebagai
penonton yang seolah-olah tidak tahu apa-apa atau buta terhadap dunia politik.
Itulah sebabnya politik sering disalahgunakan, didramatisir, diperkosa,
dimanfaatkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu atau individu tertentu dan
kepentingan pribadi, yang tidak mendatangkan kebaikan bagi masyarakat
Indonesia. Sehingga tidak heran politik hanya dinikmati oleh para penguasa dan mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Kisah
kisruh politik yang tidak sehat, yang tak ada bedanya dengan dunia binatang
buas telah menyebabkan otonomi daerah tidak berjalan sesuai dengan harapan. Oleh sebab itu, otonomi daerah dinilai belum efektif untuk pembangunan
di Indonesia, terutama untuk daerah-daerah
tertinggal. Salah contoh yang sangat nyata adalah di daerah saya di Kalimantan
Barat, khususnya di Kecamatan Sajingan Besar Kabupaten Sambas, tenaga listrik
dan jalan raya yang beraspal adalah pemberian dari pemerintah Malaysia.
Seharusnya pemerintah Indonesia punya nyali dan malu dengan pemerintah
Malaysia. Sejenak saya berpikir, mengapa orang lain lebih prihatin, peduli dan
empati dari pada orangtua sendiri? Jika hal ini tetap dibiarkan, maka bukan
tidak mungkin masyarakat setempat pindah negara, yaitu menjadi warga negara
Malaysia.
Maraknya
praktik korupsi di Indonesia telah meruntuhkan nilai-nilai kemausiaan
masyarakat Indonesia itu sendiri. Betapa tidak? Seharusnya Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang dialokasikan sebesar adalah 60%, tetapi nyatanya hanya 40%
yang dialokasoikan, sehingga ini menimbulkan kesenjangan di pulau Jawa dan di luar pulau
Jawa. Itulah sebabnya daerah yang tertinggal semakin tertinggal dan tidak bisa menyerapnya. Daerah
tertinggal kerap diabaikan dan tidak
dijadikannya sebagai fokus pembangunan, sehingga banyak sektor yang tidak
memperhatikan daerah tertinggal, karena kesalahan pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah.
Masalah lain adalah lahirnya raja-raja kecil yang sangat
kuat di provisni-provinsi, di kabupaten-kabupaten, di kota-kota, dan di kecamatan-kecamatan. Akibatnya KKN semakin bertumbuh dan berkembang
luar biasa, sehingga rakyat semakin menderita. Tidak
hanya itu, munculnya
PERDA-PERDA yang bertentangan dengan peraturan pusat, seperti PERDA syariat
Islam di berbagai daerah, dan ini pun menyebabkan perpecahan bangsa karena ada
yang setuju dan yang tidak setuju.
Yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik (elite
politik) menganggap bahwa PERDA tersebut bisa menjadi media sosial untuk
memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemiskinan, perjudian yang
umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil dengan alasan untuk memperbaiki moral
bangsa. Sedangkan yang tidak setuju beranggapan bahwa PERDA tersebut
bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya.
Dengan
kata lain, kehadiran PERDA syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa yang ada, yaitu seperti: kemiskinan, kekerasan, kerusakan lingkungan, penjahat HAM, ketidakadilan sosial, dan praktik korupsi yang
semakin merajalela. Salah satu
akibatnya adalah agama sering dijadikan mesin politik
oleh pihak-pihak tertentu untuk mendongkrak popularitas dan jabatannya serta
mereka yang memiliki
kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung syariat Islam.
Seharusnya Indonesia bisa belajar dari negara-negara yang
menerapkan syariat Islam secara ortodoks seperti Afganistan, Somalia dan Sudan,
yang sekaligus juga bisa menjadi bukti bahwa syariat Islam tidak diperlukan di
Indonesia. Karena justru yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu rendahnya
tingkat ekonomi, kesejahteraan dan prestasi iptek rakyat Indonesia.
Dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia,
Prancis dan Libia yang
menjalankan sistem sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang.
Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang
moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju
dari Indonesia. Ini adalah
bukti bahwa syariat Islam tidak mempu menjawab realitas, seperti menghukum mati
para koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM. Bahkan tidak jarang dan harus diakui secara jujur bahwa kerusuhan-kerusuhan yang sering terjadi karena
dipicu oleh sentimen agama yang erat
kaitannya dengan PERDA. Peraturan Pusat dan PERDA harusnya didasarkan
pada Pancasila dan bukan agama. Karena Pancasila telah menjadi ideologi dan
falsafah hidup bangsa Indonesia yang
universal. Pancasila
telah menjamin terjadinya pluralisme di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika, dan
tidak ada falsafah yang lebih baik dari Pancasila.
Hakikatnya pluralisme dan modernisme adalah sebuh realita
yang harus diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian tidak ada
lagi “ini wilayah Kristen dan ini wilayah Islam”. Karena prinsip
pluralisme jelas mengandaikan adanya kesetaraan antar pemeluk agama di hadapan
Tuhan Sang Pencipta, dan bukan sebaliknya seperti para demonstrasi yang
sering melakukan tindakan-tindakan anarkis, perusakan dan kekerasan atas nama
agama. Sungguh menyedihkan bila melihat negara Indonesia dijadikan
sebagai tempat persembunyian dan berkumpulnya para perampok, penipu, para
penjilat, dan para binatang. Tetapi inilah realita yang ada di negara Indonesia.
Seharusnya ini menjadi pelajaran untuk mengubah cara berpolitik di Indonesia
dengan cara-cara yang manusiawi dan bukan cara kebinatangan seperti yang sering
diperlihatkan di berbagai media maupun yang ada di lapangan langsung.
Republik
Indonesia adalah negara yang terkenal sebagai negara beragama tetapi praktik
korupsi jalan terus. Kekerasan atas nama agama seolah-olah menjadi pilihan yang
membanggakan dan melaksanakan kehendak ilahi. Dengan bengis mereka bertindak
dan membiarkan kejahatan itu terjadi. Mereka menutup kedua telinga atas
teriakan orang-orang yang lapar dan minta tolong, dan menutup kedua mata atas
orang-orang yang menderita, sering diperlakukan tidak adil, ditindas dan
didiskriminasi oleh kelompok tertentu demi kepentingan politik binatang dan
tidak berkeprikemanusiaan. Sungguh, tidak ada yang dapat dibanggakan dari kisah
kisruh dunia politik yang ada di negara Indonesia. Tetapi semoga di kemudian
hari mereka menyadari dan berperan sebagai mana mestinya seorang pemimpin yang
manusiawi. Itulah harapan banyak orang, terutama mereka yang lemah, bahkan
tidak jarang mereka memanjatkan doa-doa mereka kepada Sang Khalik supaya para
pemimpin tidak memerintah dengan cara-cara binatang buas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar